Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Kamis, 15 November 2012

1 Sura = 1 Muharram...?

Slametan
Hari ini bertepatan dengan peringatan Tahu Baru 1 Muharram 1434 H atau kalau masyarakat Jawa mengenalnya dengan 1Suro. Berbeda dengan tahun baru Masehi yang biasanya dirayakan dengan sangat meriah ditandai dengan berbagai acara, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, pertunjukan kesenian, pasar malam maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun. Sangat kontras perbedaannya dengan pergantian tahun baru (1 Muharram) yang mungkin malah terlupakan dari pemikiran kita, semua berlalu begitu saja dan apa adanaya. Malah yang terjadi, beberapa kalangan masyarakat merayakannya dengan berbagai ritual, tradisi yang condong pada perayaan 1 Suro.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (begadang semalam suntuk), dan keesokan harinya diadakan acara Slametan (syukuran). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat keramat seperti petilasan, makam-makam atau istilahnya panembahan, tepi sungai atau tempat sepi yang lain.Makanya tidak heran tempat-tempat yang pada hari-hari biasa suasananya sepi, tapi pada malam 1 Suro menjadi ramai. Mereka (para peziarah) yang datang dengan berbagai kepentingan, sibuk dengan ritualnya sendiri-sendiri. Diluar itu beberapa masyarakat biasa melakukan  tradisis lek-lekan dengan cara berkumpul bersama di pinggir jalan, gelaran dan jagongan untuk menghabiskan malam 1 Suro. Terlepas tradisi tersebut benar atau tidak tapi berdasar beberapa sumber yang saya himpun ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Kerajaan Mataram Islam dimana saat itu Raja yang berkuasa adalah Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Saat itu masyarakat Jawa sebagian besar merupakan pengikut agama dan tradisi Hindu. Sementara itu pemerintahan Kerajaan Mataram Islam sedang melakukan upaya penyebaran ajaran agama Islam kepada masyarakat. Karena  keinginan Sultan Agung yang menghendaki upaya penyebaran agama dilakukan dengan cara yang damai, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam salah satunya dengan memadukan dan menetapkan Tahun Baru 1 Muharram juga merupakan Tahun Baru 1 Suro. Oleh karena itu bagi masyarakat Jawa, bulan Muharram atau Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang keramat dan sakral, bulan yang khusus untuk melakukan tadzkir, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.
Dikenal istilah lelaku, yaitu tradisi yang dikenal di masyarakat jawa yang bertujuan untuk mengendalikan hawa nafsu dan perilaku yang menyimpang. Lelaku yang dilakukan pada malam 1 Suro biasanya dimulai sejak sore hingga adzan subuh.Kemudian pada siang harinya sebagian masyarakat mengadakan acara Slametan yang diawali dengan tradisi bersih kuburan, bersih jalan, bersih tempat-tempat umum lainnya. Setelah selesai mereka berkumpul dalam satu lingkaran mengelilingi nasi tumpeng (Bucu) sebagai simbol syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan keselamatan yang telah diberikan serta memohon perlindungan terhadap bencana dan mara bahaya di tahun yang akan dilaluinya kelak.

0 comments:

Posting Komentar

 

Pengunjung

free counters

Tayangan