Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Minggu, 11 November 2012

Ijinkan aku bicara dari, oleh dan untuk CINTA

Tiba-tiba saja kepala ini menjadi terasa berat ketika harus memaksakan pikiran dan obsesi tentang apa yang harus segera saya kerjakan. Jabatan yang baru saja melekat ini seolah tidak mengizinkan saya untuk berpikir seperti persepsi sebelumnya. Menjadi seorang yang harus bisa memimpin, melayani, mendengar, mengalah, berkorban untuk satu kepentingan dan tujuan yang mengarah kepada eksistensi dan visi kedepan. Apakah aku akan mampu...?

Pengambilan Sumpah Jabatan
Pola pikir yang selama ini menjelma dalam dunia Perangkat Desa seolah menjadi bumerang bagi saya, ketika spirit untuk melayani dikalahkan oleh budaya yang selalu dikaitkan dengan uang, uang dan kepentingan pribadi semata. Idealisme sebuah dedikasi seolah hanya sebuah retorika kosong dimata masyarakat sehingga saat ini, nilai sebuah integritas menjadi sesuatu hal yang mustahil ada. Sungguh semua mengalir deras tanpa terkendali dan tinggal menunggu waktu untuk melihat dasyatnya kehancuran sebuah tatanan sebagai akibat dari akumulasi berbagai kekecewaan, ketidak adilan dan penilaian negatif masyarakat terhadap kinerja Perangkat Desa. Pada posisi sulit inilah saya merasa galau karena, sebagai seorang aparat pemerintah desa jelas saya harus berdiri dipihak Perangkat Desa dengan segala konsekuensinya. Saya harus membela dan menutup semua aib-aib yang selama ini sudah menjadi rahasia umum kalaupun tidak, saya harus berusaha diam dikala masyarakat membicarakan kejelekan satu atau beberapa Perangkat Desa. Tapi hati kecil saya seakan tidak terima karena, sebagai seorang abdi masyarakat seharusnya saya berdiri di pihak masyarakat yang saya pimpin. Melayani kebutuhan mereka dalam konteks kepentingan umum, menjelaskan dan memberikan informasi yang benar dan siap bekerja untuk kepentingan masyarakat bersama.
Sungguh bebal pikiran saya ketika hal ini menyeruak dalam pikiran, ibarat buah simalakama. Apalagi dalam batasan jabatan saya yang hanya seorang kepala wilayah dimana pertanggung jawaban ada dan melekat kepada atasan saya. Saat ini masyarakat sudah sangat cerdas dalam hal memaknai hak dan kewajiban mereka sebagai masyarakat, kalau saya tidak bisa menunaikan hak mereka bagaimana saya bisa menuntut kewajiban mereka dan hak saya dari mereka....?
Memang ada beberapa kritikan kepada saya " Ngapain kita bekerja menurut hak mereka, toh kita sekarang menjadi Perangkat Desa juga karena keberhasilan kita melalui sebuah mekanisme ujian yang sulit dan uang yang kita cari sendiri? karena usaha kita sendiri? bukan masyarakat yang mencarikan atau menyelenggarakannya secara khusus buat kita...?".
Secara nalar dan logika mungkin ada benarnya , tapi saya tidak sepakat dengan kritikan itu. Menurut saya terlalu arogan dan tidak sesuai dengan konteks bicara sebagai seorang Perangkat Desa. Karena apapun alasannya, menjadi seorang Perangkat Desa berarti kita bekerja dan mendapatkan upah, di tempat saya upah yang saya terima adalah tanah bengkok. Tanah bengkok adalah tanah milik desa yang diperuntukan untuk Perangkat Desa sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Dalam prakteknya tanah bengkok tersebut disewakan dengan ukuran potongan (1 kali masa panen), hasil sewa tanah itulah yang dipakai oleh Perangkat Desa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kebutuhan keluarganya dll. MungkinnIdealnya tanah bengkok tersebut harusnya diolah, ditanami dan hasil panenannya baru kita jual, tapi sangat jarang Perangkat Desa yang bisa seperti itu. Alasannya, semenjak proses awal penjaringan, ujian dan pelantikan seorang Perangkat Desa terpilih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan untuk menutup biaya tersebut mau tidak mau Perangkat Desa harus menjual tanah bengkok (istilah lazim sewa tanah bengkok adalah menjual). Kesimpulannya kita bekerja untuk mereka masyarakat desa, dan sangat tidak etis ketika kita sudah menjadi Perangkat Desa dan menikmati hasil darinya koh tidak mau menunjukan kinerja terbaik untuk melayani masyarakat, itu dosa besar namanya.
Oleh karena itu apapun konsekuensinya saya harus bekerja maksimal. Memang berat sekali rasanya untuk mewujudkan harapan masyarakat yang selama ini kurang terpenuhi, tapi saya harus bisa. Meskipun dalam hati saya ada sebuah koreksi kepada masyarakat, saat ini berkembang persepsi yang terpola menjadi sebuah tuntutan. Hal ini disebabkan karena pengaruh dan tuntutan perkembangan zaman serta arus budaya globalisasi yang secara tidak langsung mengarahkan kita pada budaya materi, nilai sebuah pengabdian itu berarti cost yang besar. Meski anggapan tersebut tidak semuanya benar, saya sangat merasakannya. Itulah yang menjadinsalah satu sebab kenapa beberapa Perangkat Desa agak enggan untuk bekerja maksimal, terlalu banyak cost sosial yang harus dikeluarkan katanya padahal tuntutan kebutuhan pribadi dan keluarganya juga tidak kalah penting. "Kita proporsional sajalah mas....", demikian salah satu alasan klasiknya. Menurut saya disitulah letak ujian dan tantangan sebagai seorang Perangkat Desa, meski akibatnya tidak jarang beberapa Perangkat Desa terjebak pada kepentingan praghmatis atau sesaat, atau mungkin Perangkat Desa yang harus mencari penghasilan lain untuk menopang kehidupannya. Sehingga 24 jam waktu bagi seorang Perangkat Desa yang betul-betul bekerja seolah tidak cukup untuk mereka. Yang terjadi hak pribadi dan keluarganya kadang dikalahkan untuk memenuhi dan melayani masyarakat. Belum lagi ketika ada droping agenda-agenda penting dari dinas atau institusi pemerintahan diatasnya yang harus segera diselesaikan.
Tulisan ini hanyalah luapan hati yang meluber dalam bingkai goresan, tidak terlalu penting sebenarnya buat orang lain. Bukan saya mengeluhkan atau menyalahkan tapi semata-mata hanya ingin menjernihkan hati. Pekerjaan ini menurut saya terlalu besar dah mulia, sehingga butuh kebijaksanaan diri ini dalam menyikapi setiap geliat hati. Saya benar-benar ingin pekerjaan saya sebagai Perangkat Desa akan membawa maslahat buat diri, keluarga, masyarakat dan bermartabat dimata Alloh SWT, TIDAK MALAH SEBALIKNYA. Sungguh aliran keberkahan yang tiada henti, parameter Tuhan menjadi tolak ukur keberhasilan bukan diri pribadi manusia. Itulah kenapa saya berkepentingan memberikan alasan ini, saya ingin campur tangan Alloh SWT selalu ada dalam semua usaha yang saya lakukan menuju tatanan masyarakat yang " GUYUB RUKUN, GEMAH RIPAH LOH JINAWI, TATA TENTREM KARTA RAHARJA, BALDATUN THOYYIBATUN WA ROBBUN GHOFUR".
Subhanalloh Walkhamdulillah Walaa ilaaha Illallooh Walloohu Akbar...
Semoga saya bisa bekerja melayani masyarakat ini dengan cinta dan keikhlasan, kabulkanlah Ya Alloh..

0 comments:

Posting Komentar

 

Pengunjung

free counters

Tayangan