Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Jumat, 10 Mei 2013

Ini kopi saya lho

Jum'at kedua dibulan Mei 2013
Rasanya baru saja sekejap aku pejamkan kedua mata ini, hampir semalaman begadang dan bercengkerama bersama orang-orang tercinta di sebuah beranda rumah warga di pojok dusun. Mengurai kata dalam obrolan hangat diselingi tawa dan canda diantara mereka, sungguh indah nian rasanya. Mengalir tanpa beban seolah tidak ada skat yang membatasi, ringan, lugas dan begitu terasa nuansa kekentalan, kedekatan dan menyenangkan. Pada awalnya mereka sebenarnya bukanlah siapa-siapa bagiku, tidak ada garis yang menghubungkan dalam sejarah bahwa mereka adalah teman, sahabat ataupun saudaraku. Apalagi melihat latar belakang usia dimana mereka rata-rata jauh lebih tua umurnya dibandingkan dengan umurku saat ini. Sambil menikmati segelas kopi tubruk bersama-sama merenda malam, larut dalam berbagai topik obrolan yang seolah tidak ada habis-habisnya.

Menurut saya komunikasi adalah seni. Sebuah kemampuan empati seseorang untuk bisa menyelaraskan kekuatan hati dalam sebuah proses interaksi sosialnya. Komunikasi yang benar merupakan salah satu output dari sebuah kecerdasan emosional seseorang untuk bisa menghadirkan sebuah keterikatan batin dari sebuah pembicaraan antara dua atau beberapa orang ataupun lebih. Sehingga dalam proses interaksi akan terbangun suasana nyaman tanpa beban ibarat air yang terus mengalir dalam irama yang terartur dan terkendali, tiada keterpaksaan, dipaksa ataupun memaksa. Secara teori mungkin saya sama sekali tidak memiliki dasar apapun, tetapi ini hanyalah sebuah pengalaman yang saya dapat selama berinteraksi dengan berbagai karakter seseorang atau masyarakat secara langsung.
Dalam sebuah obrolan kadang sering kita jumpai orang yang berusaha memaksa orang lain untuk mengikutinya, memperhatikannya, mendenganrkannya. Dengan berbagai cara berusaha menganalogikan segala sesuatu, memolesnya dengan intonasi semu yang menggebu-gebu tetapi hasilnya bukanlah ending yang baik justru sebaliknya. Orang menjadi malas untuk berbicara dengannya, menutup diri dengannya serta selamanya akan menganggap sebagai partner bicara yang tidak menyenangkan. Boro-boro orang akan mau mengikuti keinginannya, mau mendengarkan arah bicaranya juga sudah malas. Sebenarnya tidak terpaku pada seberapa banyak kata yang kita ucapkan serta kemampuan seseorang dalam bersilat lidah tetapi bagaimana kita bisa mengatur ritme pembicaraan, kesabaran kita untuk mau mendengarkan, menyimak dan memahami arah dari sebuah pembicaraan. Disitulah kekuatan kata akan menjadi penentu ending dari sebuah proses seni berkomunikasi yang benar. Apabila kita bisa menguasai seni ini maka orang akan merasa nyaman untuk berbicara dengan kita, merasa damai, merasa aman, merasa asyik meskipun mungkin topik pembicaraan hanya mengangkat tema yang sederhana. Dari situlah kita bisa mengambil gambaran suasana hati seseorang yang sebenarnya, menyelam dalam lubuk hatinya tentang keinginan dan harapan apa yang sebenarnya ada meskipun mereka berusaha membalutnya dengan lipatan-lipatan kata yang semu. Dan akhirnya tanpa mereka sadari, mereka akan mengikuti irama kita, memahami maksud kita dan membenarkan ide serta gagasan kita tanpa pemaksaan...

Itulah mengapa secara pribadi saya selalu berusaha menempatkan diri dalam berbicara dengan siapapun. Saya sangat memahami bahwa setiap orang memiliki karakter, latarbelakang dan situasi yang berbeda. Menurut saya itulah seni berkomunikasi yang benar. Saya bersyukur, Alloh SWT telah menganugerahkan kepada saya kemampuan ini meskipun tidak sehebat para tokoh-tokoh besar yang saya idolakan. Tidak semua orang diberikan kemampuan untuk bisa membiasakan diri berkomunikasi dengan cara ini. Teori bisa saja dipelajari tapi untuk bisa menguasai dibutuhkan proses yang tidak hanya sebentar, tapi waktu, tenaga, pikiran dan intensitas proses interaksinya dengan orang lain. Selanjutnya hanya dibutuhkan kemampuan kapasitas seseorang serta integritas terhadap orang-orang yang telah mempercayai kita. Selalu belajar dan tidak bosannya untuk senantiasa memberikan empati karena tidak ada kesempurnaan dalam pribadi , yang ada hanyalah belajar menuju kesempurnaan itu. Karena pada hakekatnya kesempurnaan hanyalah milik Alloh SWT, dan kita hanyalah secuil dari begitu luasnya hamparan alam raya yang telah Dia tiupkan ruh didalamnya dan segenggam otak untuk berpikir mengakui kebesaran-Nya...... Wallohua'lam.

0 comments:

Posting Komentar

 

Pengunjung

free counters

Tayangan